Entri Populer

Rabu, 01 September 2010

SHALAT KHUSYU

SHALAT KHUSYU

Shalat, tapi hanya sekedar menggugurkan kewajiban? Menjemukan & menjadi beban? Tergesa-gesa dan terasa tawar bin hambar? Anda menjadi orang yang sangat rugi, karena selalu tersiksa 5x/hari seumur hidup. Betulkah demikian...?
Jika demikian, anda tidak ada pilihan lain kecuali mencoba belajar dan mempraktekkan Strategi Meraih Shalat Khusyu' agar shalat terasa lebih nikmat, dan lebih memberikan manfaat bagi hati dan tubuh.
Jika orang lain dapat menghadirkan perasaan tenang, kenyamanan dan kebahagiaan melalui teraphy, meditasi dan sejenisnya, maka shalat lebih mampu mendatangkan lebih dahsyat dari itu. Contoh nyata adalah sayidina Ali yang tidak merasakan sakit sedikitpun ketika anak panah yang menancapnya dicabut saat melaksanakan shalat. Hal ini hanya dapat dijelaskan dengan satu alasan: shalat mampu membuat jauh lebih tenang, jauh lebih nyaman dan jauh lebih bahagia dibanding teraphy atau meditasi manapun. Anda tentu setuju, bukan?

Shalat adalah rangkaian gerakan dan posisi tubuh yang diciptakan Allah (baca artikel: Shalat Adalah Ibadah Gerak). Allah sang pencipta manusia pasti tahu persis "teraphy" yang paling cocok dan bermanfaat untuk manusia. Itulah shalat, sebuah rangkaian cara yang merupakan anugerah dari Allah untuk memperbaiki tubuh dan hati manusia, untuk kebahagiaan manusia.
Yang pasti, shalat khusyu bukan hanya milik para Nabi, kita semua dapat meraihnya.

Akhmad Tefur - www.shalatsempurna.com
***

Minggu, 29 Agustus 2010

Ushul Fiqh 1

Ushul Fiqh 1 (Definisi dan Faedah Ushul Fiqh)

oleh Belajar Ushul Fiqh pada 16 Juni 2009 jam 19:50
 
Sesungguhnya Allah telah menjadikan syari'at Islam sebagai penutup segala syariat. Di antara keistimewaan syariat Islam ini adalah kesempurnaannya dan kecakupannya terhadap solusi dari seluruh masalah, serta manfaatnya untuk setiap tempat dan zaman.
Walaupun terdapat masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang baru dengan berkembangnya tempat dan zaman, syariat Islam telah mencakup dan memberi solusinya. Yaitu dengan bersandar kepada hukum-hukum dan kaidah-kaidah sebagai asas yang umum.
Allah ta'ala berfirman bahwa Al Qur'an telah menjelaskan segalannya:
"dan Kami turunkan Al Qur'an kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu" (QS An Nahl : 89)

Para ulama telah meletakkan kaidah dan asas untuk memahami nash Al Qur'an dan As Sunnah serta cara istinbath (menyimpulkan hukum) dari dalil-dalil yang ada. Kaidah dan asas ini diambil dari Al Qur'an dan As Sunnah serta ilmu bahasa arab, para ulama menamakannya "Ushul Fiqh".

Karena pentingnya pembahasan ushul fiqh ini, kami akan berusaha menerjemahkan matan "Ushul min Ilmi Ushul" karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ' Utsaimin, secara berangsur. Saya mempersilahkan jika ada teman-teman yang ingin diskusi, dan saya dengan senang hati jika para ustadz atau tholabul ilmi di sini memberi ilmu tambahan, ataupun mengoreksi.
Berikut adalah part 1 dari kitab matan Ushul min Ilmi Ushul.


Definisinya:


Ushul fiqh dapat didefinisikan dari dua sisi,

Pertama:


Ditinjau dari sisi kedua kata (yang menyusunnya), yaitu kata ushul dan kata fiqh.
Adapun ushul (أصول), merupakan jama’ dari ashl (أصل), yaitu apa-apa yang menjadi pondasi bagi yang lainnya. Oleh karena itu, ashl jidar (أصل الجدار) artinya pondasi dinding, dan ashl syajarah (أصل الشجرة) artinya akar pohon.
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS Ibrahim : 24).

Sementara fiqh, secara bahasa artinya pemahaman, berdasarkan firman Allah ta’ala, “dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka memahami perkataanku” (QS Thoha: 27-28)

Fiqh secara istilah artinya pengenalan terhadap hukum-hukum syar’i, yang sifatnya amaliyah, dengan dalil-dalilnya yang detail.

Maksud perkataan kami “pengenalan” yaitu secara ilmu (yakin) dan zhon (dugaan), karena pengenalan terhadap hukum-hukum fiqh terkadang menyakinkan dan terkadang bersifat dugaan sebagaimana yang terdapat di banyak masalah-masalah fiqh.

Maksud perkataan kami “hukum-hukum syar’i” yaitu hukum-hukum yang didatangkan oleh syari’at seperti wajib dan haram, maka tidak tercakup hukum-hukum akal (logika) seperti mengetahui bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sebagian, dan juga tidak mencakup hukum-hukum kebiasaan, seperti mengetahui bahwa gerimis biasanya akan turun di malam yang dingin jika cuacanya cerah.

Maksud perkataan kami “amaliyah” adalah perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan keyakinan (akidah), contoh “amaliyah” tersebut yaitu sholat dan zakat, maka fiqh tidak mencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan seperti mentauhidkan Allah, ataupun mengenal nama dan sifat-Nya, yang demikian itu tidak dinamakan fiqh secara istilah.

Maksud perkataan kami “dengan dalil-dalilnya yang detail” adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang detail. Berbeda dengan ushul fiqh, karena pembahasan di dalam ushul fiqh tersebut hanyalah dalil-dalil yang global.

Kedua:


Ditinjau dari sisi nama untuk cabang ilmu tertentu, maka ushul fiqh tersebut didefinisikan:
ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang global dan cara menggunakannya serta menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid)

Maksud perkataan kami “global” adalah kaidah-kaidah umum seperti perkataan “perintah menuntut kewajiban”, “larangan menuntut keharaman”, “benar berkonsekuensi terlaksana”. Ushul fiqh tidak membahas dalil-dalil yang detail, dan dalil-dalil yang detail tersebut tidak disebutkan di dalamnya melainkan sebagai contoh terhadap suatu kaidah (umum).

Maksud perkataan kami “dan cara menggunakannya” adalah mengenal cara menentukan hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya dari umum dan khusus, mutlak dan muqoyyad, nasikh dan mansukh, dan lain-lain. Dengan mengenal ushul fiqh maka dapat ditentukan hukum-hukum dari dalil-dalil fiqh.

Maksud perkataan kami “keadaan penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid, dinamakan penentu hukum karena dia dapat menentukan sendiri hukum-hukum dari dalil-dalilnya sehinggga sampai ke tingkatan ijtihad. Mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad serta hukumnya dan semisalnya dibahas di dalam ushul fiqh.

Faidah Ushul Fiqh:


Sesungguhnya ushul fiqh adalah ilmu yang mulia kedudukannya, sangat penting, dan yang besar faedahnya, faedahnya adalah mengokohkan kemampuan bagi mujtahid untuk menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya di atas asas yang benar.

Orang yang pertama kali menjadikan ushul fiqh sebagai cabang ilmu yang tersendiri adalah Imam Asy Syafi’i Muhammad bin Idris –rahimahullah-. Kemudian diikuti oleh para ulama, mereka menulis tentang ushul fiqh dengan tulisan yang beraneka ragam, ada yang acak ada yang teratur, ada yang ringkas ada yang panjang, sampai ushul fiqh ini menjadi cabang ilmu yang tersendiri, yang memiliki keistimewaan.


InsyaAllah bersambung ke part 2 : hukum (الأحكام)

DOA IFTITAH

Doa Iftitah

Abu Hurairah -radhiallahu anhu- berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَبَيْنَ الْقِرَاءَةِ إِسْكَاتَةً قَالَ أَحْسِبُهُ قَالَ هُنَيَّةً فَقُلْتُ بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ إِسْكَاتُكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiam antara takbir dan bacaan Al Qur’an.” -Abu Zur’ah berkata,” Aku mengira Abu Hurairah berkata, “DIam sebentar,”- lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, demi bapak dan ibuku! Anda berdiam antara takbir dan bacaan. Apa yang anda baca di antaranya?” Beliau bersabda, “Aku membaca: ALLAHUMMA BAA’ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIB. ALLAHUMMA NAQQINII MINAL KHATHAAYAA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAHUMMAGHSIL KHATHAAYAAYA BILMAA’I WATSTSALJI WAL BARAD (Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air yang dingin).” (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 598)
 
Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلَاةَ قَالَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ
 
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak memulai shalat, maka beliau mengucapkan: “SUBHANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABARAKAS-MUKA WA TA’ALA JADDUKA WA LA ILAHA GHAIRAKA” (Maha suci Engkau, ya Allah, aku sucikan nema-Mu dengan memuji-Mu, Maha berkah nama-Mu, Maha luhur keluhuran-Mu, dan tidak ilah yang hak selain Engkau).” (HR. Abu Daud no. 776, At-Tirmizi no. 243, Ibnu Majah no. 896, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shifatush Shalah hal. 93)
 
Dari Anas -radhiallahu anhu- dia berkat:

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ فَدَخَلَ الصَّفَّ وَقَدْ حَفَزَهُ النَّفَسُ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بِالْكَلِمَاتِ فَأَرَمَّ الْقَوْمُ فَقَالَ أَيُّكُمْ الْمُتَكَلِّمُ بِهَا فَإِنَّهُ لَمْ يَقُلْ بَأْسًا فَقَالَ رَجُلٌ جِئْتُ وَقَدْ حَفَزَنِي النَّفَسُ فَقُلْتُهَا فَقَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ اثْنَيْ عَشَرَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَرْفَعُهَا
 
“Bahwa seorang laki-laki datang dan masuk shaff (barisan) sementara nafasnya masih terengah-engah, lalu mengucapkan: ALHAMDU LILLAHI HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI (segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, baik, lagi berberkah).” Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Siapakah diantara kalian yang mengucapkan kalimat tadi?” Para sahabat terdiam. Beliau mengulangi pertanyaannya; “Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi, karena hal itu tidak masalah baginya.” Lantas seorang sahabat berujar; “Aku tadi dating, sementara napasku masih ternegah-engah, maka kuucapkan kalimat itu (maksudnya pendek dan ringkas).” Beliau bersabda: “Tadi aku melihat dua belas malaikat berebut mengangkat ucapan itu.” (HR. Muslim no. 600)
Penjelasan ringkas:
 
Setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca al-fatihah, orang yang shalat disunnahkan untuk memuji Allah Ta’ala dengan membaca salah satu dari doa-doa istiftah yang tersebut dalam ketiga hadits di atas dan hadits-hadits lainnya.
Berikut beberapa faidah yang kami ringkaskan dari risalah ‘Thuruq Al-Falah fii Bayan Ahkam Du’a Al-Istiftah’ oleh Abdullah bin Hamd Al-Manshur:
1. Ada beberapa lafazh istiftah yang warid dari Nabi -alaihishshalatu wassalam-, yaitu:
a. Ketiga lafazh dalam hadits di atas.
b. dari Ali bin Abu Thalib dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;

أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 
“Biasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat, beliau membaca (do’a iftitah) sebagai berikut: “WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDLA HANIIFAN WAMAA ANAA MINAL MUSYRIKIIN, INNA SHALAATII WA NUSUKII WA MAHYAAYA WA MAMAATII LILLAHI RABBIL ‘AALAMIIN LAA SYARIIKA LAHU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANAA MINAL MUSLIMIIN ALLAHUMMA ANTAL MALIKU LAA ILAAHA ILLAA ANTA, ANTA RABBII WA ANAA ‘ABDUKA ZHALAMTU NAFSII WA’TARAFTU BI DZANBII FAGHFIL LII DZUNUUBII JAMII’AN INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUB ILLAA ANTA WAH DINII LIAHSANAIL AKHLAAQ LAA YAHDII LIAHSANIHAA ILLAA ANTA WASHRIF ‘ANNII SAYYI`AHAA LAA YASHRIFU ‘ANNII SAYYI`AHAA ILLAA ANTA LABBAIKA WA SA’DAIKA WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIK WASY SYARRU LAISA ILAIKA ANAA BIKA WA ILAIKA TABAARAKTA WA TA’AALAITA ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAIKA (Aku hadapkan wajahku kepada Allah, Maha pencipta langit dan bumi dengan keadaan ikhlas dan tidak mempersekutukanNya. Sesungguhnya shalatku, segala ibadahku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dan karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan berserah diri kepadaNya. Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku dan aku mengakui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang berwenang untuk mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Dan tunjukilah kepadaku akhlak yang paling bagus. Sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Labbaik wa sa’daik (Aku patuhi segala perintahMu, dan aku tolong agamaMu). Segala kebaikan berada di tanganMu. Sedangkan kejahatan tidak datang daripadaMu. Aku berpegang teguh denganMu dan kepadaMu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampun dariMu dan aku bertobat kepadaMu).” (HR. Muslim no. 1290)
 
c. dari Ibnu Umar dia berkata;

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ الْقَائِلُ كَلِمَةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ عَجِبْتُ لَهَا فُتِحَتْ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ
قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ
 
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seseorang mengucapkan ALLAHU AKBAR KABIRAW WAL HAMDU LILLAHI KATSIIRAW WASUBHAANALLAAHI BUKRATAN WA ASHIILAN (Maha Besar Allah, dan segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, dan Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang).” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?” Seorang sahabat menjawab; “Saya wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sungguh aku sangat kagum dengan ucapan tadi, sebab pintu-pintu langit dibuka karena kalimat itu.” Kata Ibnu Umar; “Maka aku tak pernah lagi meninggalkannya semenjak aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hal itu.” (HR. Muslim no. 943)

2. Hukum membaca doa istiftah adalah sunnah menurut mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan dia juga sunnah menurut Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad.

3. Dia dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca al-fatihah. An-Nawawi berkata, “Seandainya seseorang tidak membacanya pada rakaat pertama baik dengan sengaja maupun lupa, maka dia tidak perlu membacanya setelahnya karena tempatnya sudah lewat, dan seandainya dia memaksa untuk membacanya maka hal itu makruh dan shalatnya tidaklah batal.” Kemudian beliau (An-Nawawi) berkata, “Jika dia masbuk yang mendapati imam (dalam keadaan berdiri) pada sebagian rakaat maka dia tetap membacanya (istiftah), kecuali jika dia khawatir akan ketinggalan membaca al-fatihah (sebelum imam ruku’). Jika dia khawatir maka hendaknya dia hanya membaca al-fatihah, karena dia lebih ditekankan, membaca al-fatihah adalah wajib sementara membaca istiftah adalah sunnah. Jika si masbuk mendapati imam tidak sedang dalam keadaan berdiri, apakah dia mendapatinya dalam keadaan ruku’ atau sujud atau tasyahud, maka dia ikut shalat bersamanya dengan takbiratul ihram dan langsung membaca zikir yang dibaca oleh imam. Dia tidak membaca istiftah dalam keadaan seperti ini dan tidak juga pada keadaan setelahnya.”

4. Jika dia shalat sendiri maka dia bebas memilih istiftah yang panjang untuk dia baca.
Jika dia seorang makmum, maka hendaknya dia memilih doa istiftah yang kira-kira bisa selesai dia baca sebelum imam mulai membaca al-fatihah. Karena mendengar al-fatihah adalah wajib sementara membaca istiftah adalah sunnah.
[Kami katakan: Karenanya jika dia belum selesai membaca istiftah sementara imam telah membaca al-fatihah maka hendaknya dia menghentikan bacaan istiftahnya dan mendengarkan imam.]
Jika dia seorang imam, maka Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa dia boleh membaca istiftah yang panjang jika makmum mengizinkan. Adapun jika mereka tidak mengizinkan maka hendaknya dia tidak membaca istiftah yang panjang.

Fawaid:
a. Para ulama menyebutkan bahwa semua shalat dibuka dengan doa istiftah kecuali shalat jenazah, karena asal pelaksanaannya adalah dipersingkat, karenanya tidak ada ruku’ dan sujud padanya.
 
b. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Untuk ibadah yang warid dalam beberapa kaifiat dan bentuk (seperti doa istiftah ini, ed.), maka disunnahkan untuk mengerjakan setiap dari kaifiat dan bentuk tersebut secara satu per satu (bergantian). Tidak menggabungkan dua bacaan atau lebih dan juga tidak hanya mengerjakan satu kaifiat/bentuk (lalu meninggalkan yang lainnya, ed.)
[Kami katakan: Demikianlah pendapat Imam Ahmad dan merupakan pendapat yang dipilih oleh para ulama ahli hadits.]

Selesai nukilan ringkas dari risalah yang tersebut di atas dengan sedikit editan, dan kalimat yang terdapat di dalam kurung adalah dari kami, wallahu a’lam.

dari http://al-atsariyyah.com/?p=1957

Sabtu, 28 Agustus 2010

APA KESAN ANDA ??







Apa yang anda pikirkan dengan ke 2 benda diatas ?
Apakah gambar di atas mempengaruhi imajinasimu ?

Jumat, 27 Agustus 2010

Software AlQuran Terlengkap

"Qsoft Software AlQuran"

Terlengkap Untuk Pencarian Data
Menelusuri sebagian dari mukjizat Al Quran: 
Kemurnian Petunjuk, 
Pering at an,
Ke s e ra si a n ,Keindaha n, Unsur Matematika
Mencari, Menyaring, Memilah, Menghitung: Surat, Ayat, Kalimat, Kata, 
Huruf dalam Al Quran
Seluruh fungsi dapat dilakukan terhadap semua jenis / format text:
Teks Arab dengan / tanpa Harakat, Transliterasi / Latin, Terjemah
Menampilkan Ayat tertentu
Mencari kata / kalimat tertentu
menampilkan transliterasi dan terjemahan / tafsir ayat per ayat
menampilkan transliterasi dan terjemahan / tafsir kata per kata
menyaring ayat yang mengandung kata atau kalimat tertentu
mengetahui jumlah ayat yang mengandung huruf, kata atau kalimat tertentu
Menyaring ulang dan mengurutkan hasil saringan dengan kriteria tertentu
Menampilkan ayat-ayat berdasarkan index / makna yang terkandung
Mencari dan menghitung kalimat yang muncul berulang kali
Menghitung jumlah ayat, kata, asal kata, atau huruf dengan kriteria tertentu
Menyaring kalimat Perintah, Larangan, Sindiran, Ancaman, dlsb
Menampilkan dan menyaring arti dan jenis kata 

Untuk pemesanan dapat hubungi :
Heryawan
email : heryawan_icm66@yahoo.co.id
Hp : 022-70461757
www.alqurandata.com



IBU BAGI ANAK YATIM

Ibu bagi Anak Yatim
oleh Muhammad Rizqon Jumat,

Seorang anak adalah ibarat kertas putih. Apa yang tergambar, sedikit banyak adalah pengaruh dari goresan orang tua atau lingkungannya di waktu kecil. Seorang anak yang dibesarkan di lingkungan yang kondusif, maka akan lahir darinya kepribadian yang baik. Sebaliknya jika dibesarkan dilingkungan yang buruk, maka akan lahir darinya kepribadian yang buruk. Setiap anak memiliki karakter khas yang merupakan hasil bentukan di masa kecil. Bisa berupa karakter yang baik, bisa juga berupa karakter yang kurang baik. Bisa berupa karakter yang sulit diubah, bisa juga karakter yang mudah sekali untuk diubah.

Karakter anak yang dibesarkan dengan sentuhan kasih seorang ibu, umumnya berbeda dengan karakter mereka yang tidak atau jarang mendapatkannya. Salah satu hikmah perintah Nabi Saw untuk menyayangi anak yatim, bisa dikaitkan dengan kondisi tersebut. Anak yatim adalah anak belum menemukan pijakan yang utuh tentang kepada siapa dia seharusnya menyandarkan kehidupan dan mengharapkan kasih sayang. Oleh karenanya, dia perlu dihibur, dikuatkan mentalnya, dan ditunjukkan kepada hakikat cinta dan kasih sayang yang bermuara kepada Allah SWT.

Anak yang tidak atau jarang mendapatkan sentuhan kasih sayang, adakalanya memiliki karakter yang kurang kondusif bagi sebuah kemajuan atau kesuksesan. Salah satu penyebabnya adalah karena telah terbentuknya zona aman (comfort zone) atas karakter yang telah tertanam pada dirinya sejak kecil itu. Sebagai misal persepsi anak tentang sabar. Telah tertanam dalam dirinya bahwa apa-apa yang dialaminya adalah bagian dari takdir Allah SWT yang harus diterima dengan sabar. Namun karena penanaman yang kurang tepat, kesabarannya itu tidak berbuah pada kegigihan/kemandirian dalam menjalani kehidupan. Dia mengidentikan sabar dengan pasrah atau nrimo yang berkonotasi pasif. Dan dia memiliki persepsi bahwa sabar itu hanya dilakukan di kala menerima musibah saja. Padahal kapan pun, baik di kala susah maupun senang, seorang hamba Allah dituntut untuk bersabar.

Namun apakah anak yang kurang mendapat sentuhan kasih sayang orang tuanya akan selalu tumbuh dengan kepribadian yang tidak mendorong pada kesuksesan? Data empiris menunjukkan tidaklah selalu demikian. Bahkan kita menyaksikan banyak anak yang tumbuh dengan belaian kasih sayang orang tua yang "berlebih", namun dia tumbuh dengan kepribadian yang labil.

Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang terlahir yatim, yang 6 tahun kemudian ibu beliau wafat menyusul kepergian sang ayah, adalah kisah yang patut menjadi cerminan dan sumber motivasi. Beliau adalah sosok yang tidak banyak mendapat sentuhan dan belaian kasih sayang dari orang tuanya, namun demikian pribadi dan akhlak yang muncul dari diri beliau adalah pribadi indah yang mempesonakan. Tentu semua itu adalah karena kehendak dan bimbingan Allah SWT, yang dengan sifat ar Rahman dan ar RahimNya, mengungguli sentuhan dan kasih sayang seorang ibu yang terbaik sekalipun.

Oleh karenanya kehilangan seorang ibu, bukanlah akhir dari sebuah kehidupan. Meski terasa berat, kehilangan seorang ibu adalah bentuk ujian agar seseorang bisa menemukan sumber cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya, yang tidak pernah lapuk, tidak pernah lekang, dan tidak terukur dan terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu, yang abadi, dan tidak fana sebagaimana kasih sayang seorang ibu di dunia ini.

Kehadiran seorang ibu adalah wasilah dari cintaNya. Allah SWT berkehendak menunjukkan keagungan cintaNya, maka diutuslah seorang ibu. Seorang ibu yang memahami akan esensi ini, maka ia merasa bahwa kehadirannya adalah amanah dariNya, sehingga ia berusaha mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikanNya. Dia tidak akan pernah mengharapkan imbal jasa, pamrih, atau menuntut balas. Dia tidak ingin disanjung dan dipuji karena pemilik segala puji hanyalah Allah yang menurunkan sifat rahman dan rahimNya itu.

Bagi kita selaku seorang anak, kewajiban kita adalah mencurahkan bakti dan taat secara benar sesuai petunjuk-petunjuk yang diberikanNya demi mengharap ridhaNya. Karena ridha Allah adalah ridha orangtuanya. Dan kewajiban berbakti itu, adalah kewajiban yang melintasi batas waktu, tidak berarti selesai ketika ibu kita meninggalkan dunia.

Ada kisah menarik yang bisa menjadi cerminan. Ketika Rasulullah Saw wafat, sahabat Umar begitu sangat amat terpukul. Pijakannya hampir hilang ketika menyaksikan fakta bahwa sahabat dan pemimpin ummat yang amat sangat dikasihinya itu meninggal dunia. Dengan perasaan penuh guncangan emosi sambil menghunuskan pedang, beliau mengatakan, “Barang siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah wafat, akan aku penggal batang lehernya!”.

Untunglah, ditengah kondisi yang serba panik itu, tampillah Abu Bakar Asshiddiq menenangkan gunjangan jiwa kaum muslimin dengan membacakan firmanNya, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS 3: 144).

Kemudian beliau berpidato, “Barang siapa yang menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah selalu hidup dan tidak pernah wafat.”

Pedang yang berada di genggaman tangan Umar perlahan-lahan mengendur kemudian jatuh. Jiwa kaum muslimin yang semula bergejolak panas berangsur-angsur mendingin. Semuanya tertunduk haru. Nada tangis yang semula meraung-raung menunjukkan ketidakridhaan atas fakta yang terjadi, berubah menjadi tangis isak yang tiada henti dengan kucuran air mata. Bertahun-tahun mereka bergaul dengan Rasulullah Saw, seakan baru kali inilah mereka menyadari bahwa Rasulullah Saw tidak lain adalah manusia seperti diri mereka yang bisa wafat kapan saja bila Allah SWT menghendaki.

Ya, siapapun yang menyembah manusia, meski sekaliber Muhammad Saw, maka ia pasti wafat. Pesona seorang ibu tidaklah melebihi pesona Muhammad Saw, kewajiban kita kepada seorang ibu tidaklah melebihi kewajiban kita kepada Rasululllah Saw. Maka, kematian seorang ibu janganlah menjadikan kita terguncang.

Boleh jadi kita bisa menerima hal ini. Bagaimana bila yang mengalaminya adalah anak-anak kecil yang masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang? Inilah teguran bagi kita untuk selalu memperhatikan anak-anak yatim. Memberi cinta sebagaimana kita merasakan cinta. Memberi kasih sayang sebagaimana kita menerima kasih sayang. Dan memberi mereka fondasi kesuksesan sebagaimana kita menerima kesuksesan.

Ajakan Nabi Saw untuk memuliakan anak yatim adalah ajakan agar kita menjadi “ibu” bagi mereka. Kita bimbing mereka agar mereka mengenal “ibu” yang sebenarnya, ibu dari segala ibu, yakni Allah SWT.

Wallahua’lam bishshawaab
rizqon_ak@eramuslim.com

muhammadrizqon.multiply.com

MAKNA SABAR

Tono baru dua hari kerja di sebuah perusahaan asing, Tono bermaksud menelpon ke bagian dapur sambil berteriak, 'Ambilkan gue kopi... cepaaaaat!' Ternyata jawaban dari balik telepon tidak kalah keras dan marahnya. 'Hei siapa ini... kamu salah pencet extention? Kamu tahu dengan siapa kamu bicara?' 'Tidak.. ' sahut Tono.

'Saya direktur utama perusahaan disini. Saya pecat kamu nanti!' teriak Sang Dirut dan tak mau kalah teriak si Tono bales nyahut, 'dan Bapak tahu siapa saya?' 'Tidak.' jawab Boss. 'Syukurlah kalo gitu' sahut Tono cuek sambil menutup telpon.

Begitulah bila kita cepat marah. Kemarahan dapat membuat seseorang kehilangan banyak hal. Kemarahan juga dapat membuat kita salah langkah. Maka sebaiknya kita sabar dan jernih bila menghadapi masalah. sabar adalah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan. Dalam agama, sabar merupakan satu diantara tangga dalam mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Karena sabar bermakna kemampuan mengendalikan emosi, maka nama sabar berbeda-beda tergantung obyeknya.

1. Ketabahan menghadaapi musibah, disebut sabar, kebalikannya adalah gelisah (jaza`) dan keluh kesah (hala`)

2. Kesabaran menghadapi godaan hidup nikmat disebut, mampu menahan diri (dlobth an Nafs), kebalikannya adalah tidak tahanan (bathar)

3. Kesabaran dalam menahan marah disebut santun (hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur)

4. Sabar dalam menghadapi bencana yang mencekam disebut lapang dada, kebalikannya disebut sempit dadanya.

5. Sabar dalam mendengar gossip disebut mampu menyembunyikan rahasia (katum).

6. Sabar terhadap kemewahan disebut zuhud, kebalikannya disebut serakah, loba (al hirsh).

7. Sabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati (qana`ah), kebalikannya disebut tamak, rakus (syarahun).

Wassalam,